REPUBLIKA, Banyumas | Somasi yang diterima jurnalis Purwokerto, Widhiantoro Puji Agus Setiono atau Baldy, terus menarik perhatian publik dan komunitas pers. Surat somasi yang dikirim seorang advokat itu dinilai sebagai bentuk tekanan yang berpotensi mengganggu independensi jurnalis dalam menjalankan tugas peliputan.
Baldy mengungkapkan bahwa substansi somasi tersebut tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga memunculkan kesan adanya upaya membatasi ruang geraknya sebagai wartawan. Ia kemudian menunjuk empat advokat dari Peradi SAI Purwokerto untuk memberikan pendampingan hukum, langkah yang menunjukkan kekhawatiran serius atas potensi intimidasi.
Ketua Peradi SAI Purwokerto, H. Djoko Susanto SH, menegaskan bahwa sengketa pemberitaan seharusnya diselesaikan melalui mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yaitu hak jawab dan hak koreksi. Menurutnya, penggunaan instrumen hukum seperti somasi di luar koridor tersebut dapat menimbulkan dampak pembungkaman terhadap kerja jurnalistik.
Fenomena tekanan terhadap jurnalis di daerah bukan hal baru. Dalam sejumlah kasus, ancaman laporan kepolisian, somasi, hingga tekanan nonformal digunakan untuk memengaruhi atau membatasi pemberitaan yang dianggap merugikan pihak tertentu. Kondisi ini dikhawatirkan dapat mengurangi ruang kebebasan pers dan memengaruhi kualitas informasi yang diterima masyarakat.
Pengamat pers menilai kasus Baldy sebagai sinyal bahwa kebebasan pers masih rentan terhadap intervensi dan tekanan. Mereka menekankan pentingnya konsistensi penegakan Undang-Undang Pers agar jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut menghadapi ancaman hukum yang tidak sesuai mekanisme.
Perkembangan kasus somasi terhadap Baldy kini menjadi perhatian lintas kalangan, baik organisasi profesi, masyarakat sipil, maupun komunitas media. Insiden ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kebebasan pers merupakan hak publik yang wajib dijaga, dan setiap bentuk tekanan terhadap jurnalis harus dipahami sebagai ancaman terhadap kepentingan demokrasi.

