Jakarta, 5 Juni 2025 — Di tengah tekanan global yang masih belum mereda, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia kembali menjadi sorotan sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Namun, bukan sekadar bertahan, UMKM kini bergerak cepat ke arah transformasi digital, membuka babak baru dalam sejarah pertumbuhan bisnis lokal.
Dalam satu dekade terakhir, digitalisasi telah merambah berbagai sektor. UMKM yang dahulu identik dengan operasional konvensional mulai menapaki jalur daring. E-commerce, media sosial, dan layanan digital menjadi alat utama mereka dalam menjangkau pasar yang lebih luas, efisien, dan kompetitif.
“Digitalisasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. UMKM yang tidak mengikuti arus ini akan tertinggal,” ujar Rizky Wibowo, Direktur Eksekutif Asosiasi UMKM Digital Indonesia (AUDI), dalam konferensi pers pekan lalu di Jakarta.
Perubahan Lanskap Ekonomi Lokal

Dampak digitalisasi UMKM tidak hanya dirasakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Desa-desa di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, hingga Nusa Tenggara Timur kini juga mencicipi keuntungan dari ekonomi digital.
Salah satu contohnya adalah Nur Aini, pemilik usaha kerajinan tangan asal Sleman, Yogyakarta. Sebelum pandemi, usahanya hanya mengandalkan penjualan dari galeri kecil di rumahnya. Namun sejak bergabung dengan platform marketplace nasional dan aktif memasarkan produknya di Instagram dan TikTok, omset bulanannya melonjak tiga kali lipat.
“Awalnya saya tidak paham digital marketing, tapi setelah ikut pelatihan dari Dinas Koperasi dan UKM, saya jadi semangat. Sekarang, pesanan datang dari luar negeri,” tuturnya.
Cerita Nur Aini hanyalah satu dari ribuan kisah sukses transformasi UMKM ke ranah digital. Pemerintah dan swasta pun melihat potensi ini sebagai elemen penting untuk memperkuat daya tahan ekonomi nasional, terutama di tengah ketidakpastian global.
Peran Strategis Pemerintah
Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia mencatat bahwa hingga awal 2025, lebih dari 23 juta UMKM telah terdigitalisasi. Angka ini naik signifikan dibandingkan tahun 2020 yang hanya berkisar 8 juta. Pemerintah menargetkan 30 juta UMKM masuk ke ekosistem digital pada akhir 2026.
Program seperti Digitalisasi UMKM Go Global, Gerakan Bangga Buatan Indonesia, serta kemitraan dengan platform teknologi besar seperti Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak, menjadi motor penggerak utama.
“Kami bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menyediakan pelatihan, subsidi internet, bahkan akses pinjaman berbunga rendah khusus untuk UMKM digital,” kata Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, saat memberikan paparan kinerja kementerian awal tahun ini.
Namun demikian, Teten mengakui bahwa masih ada tantangan besar yang harus dihadapi: keterbatasan infrastruktur digital di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar), minimnya literasi digital, serta resistensi terhadap perubahan dari pelaku usaha yang sudah lama nyaman dengan cara lama.
Tantangan yang Mengemuka

Digitalisasi memang membuka peluang besar, namun jalan menuju ke sana tak selalu mulus. Masih banyak pelaku UMKM yang mengalami kesulitan dalam memahami teknologi, bahkan merasa tertinggal dalam kompetisi daring.
“Ketika semua orang jualan di marketplace, harga jadi bersaing ketat. Kalau kita tidak tahu cara branding atau optimasi, bisa tenggelam di antara ribuan penjual lain,” kata Wenny Oktaviani, pelaku usaha kuliner di Tangerang.
Di sisi lain, isu keamanan siber dan perlindungan data juga menjadi perhatian. Maraknya kasus penipuan online dan pencurian data membuat sebagian pelaku UMKM enggan memperluas kehadiran digital mereka.
“Perlu regulasi yang kuat dan sistem edukasi yang menyeluruh. Jangan sampai UMKM justru menjadi korban dari ekonomi digital,” ungkap pakar keamanan digital dari Universitas Indonesia, Dr. Andhika Pratama.
Kolaborasi Adalah Kunci
Melihat kompleksitas tantangan yang dihadapi, pendekatan kolaboratif menjadi sangat penting. Banyak startup teknologi kini menyediakan layanan edukasi gratis, konsultasi bisnis, hingga platform integrasi pembayaran dan logistik yang ramah UMKM.
Contoh nyatanya bisa dilihat dari program “UMKM Naik Kelas” yang digagas OVO bareng beberapa bank digital. Program ini langsung disambut hangat karena bantu UMKM melek digital, dapet akses modal, dan naik kelas. Program ini tak hanya memberikan akses modal, tapi juga pendampingan intensif agar pelaku UMKM dapat mengelola keuangan mereka secara profesional.
Selain itu, komunitas bisnis digital seperti Komunitas Tangan Di Atas (TDA) juga berperan besar dalam menciptakan ekosistem pembelajaran dan berbagi pengalaman antar sesama pelaku usaha.
Masa Depan UMKM: Digital, Adaptif, dan Inklusif
Masa depan UMKM Indonesia jelas bergantung pada seberapa cepat dan efektif mereka beradaptasi dengan era digital. Teknologi akan terus berkembang, dan pasar akan semakin dinamis. Asal ada regulasi yang progresif, infrastruktur yang oke, dan edukasi yang jalan terus, UMKM kita bisa banget naik kelas dan unjuk gigi di pasar dunia.
Bayangin, menurut McKinsey 2024, kalau UMKM makin melek digital, mereka bisa nyumbang sampai Rp 2.500 triliun ke PDB nasional di 2030. Gede banget, kan?
Tak hanya ekonomi, dampak sosialnya juga luar biasa. Digitalisasi mendorong inklusi keuangan, membuka lapangan kerja baru, dan memperkuat peran perempuan dalam sektor wirausaha.
“UMKM digital adalah masa depan ekonomi rakyat. Kita harus kawal dan dukung penuh,” tegas Presiden Joko Widodo dalam forum ekonomi digital di Jakarta, Mei lalu.
Tantangan hari ini bukan lagi soal kemampuan, tapi kemauan. Karena setelah pandemi, yang menentukan daya tahan usaha bukan lagi soal besar-kecilnya, tapi seberapa cepat mereka bisa menyesuaikan diri dan berpikir kreatif.